JAKARTA,Tribuntujuwali.com
PP 8/2016 mengartikan dana desa adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukan bagi Desa yang ditransfer melalui APBD kabupaten/kota dan dana desa ini digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.
"Ratusan triliun rupiah yang digelontorkan pemerintah untuk dana desa belum diimbangi dengan pengawasan dalam penggunaannya. Penyelewengan dana itu terjadi di sejumlah desa. Tak kurang dari Rp 433,8 miliar dana desa dikorupsi selama periode 2015-2021. Sebanyak 729 orang ditetapkan sebagai tersangka.
Kenaikan dana desa yang terjadi berkat revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dinilai rawan dikorupsi. Hal ini karena keuangan desa selama ini belum dikelola sesuai standar yang diterapkan pada pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pengawasan terhadap penggunaan dana tersebut juga belum optimal.
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) mencatat, di 2019 terdapat 45 Kades yang tersandung kasus korupsi. Lalu bertambah di 2020 menjadi 132 Kades, kemudian 159 Kades di 2021, dan 174 Kades di 2022.
Menyikapi Dana Desa (DD) yang sarat dijadikan korupsi oleh oknum Kepala Desa, Moh Hosen Aktivis Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) meminta kepada Presiden Republik Indonesia serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menghapus dana dimaksud dan anggaran negara (DD) bisa dialokasikan ke bidang lain karena diduga sarat jadi lahan korupsi.
KAKI berharap Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) jangan mau dibodohi Asosiasi Kepala Desa dengan mengabulkan permohonan perpanjangan jabatan yang awalnya masa jabatan 6 tahun menjadi 8 tahun dengan 2 Periode. Diyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa Permohonan Perpanjangan Jabatan bukan semata karena biaya Pilkades besar dan pembangunan Desa tidak maksimal malainkan karena anggaran Dana Desa yang besar.
Bicara anggaran pilkades itu bukan tanggungan para calon kepala Desa melainkan Urusan Pemerintah Desa melalui kementerian Keuangan Republik Indonesia. Sebenarnya masa jabatan 6 tahun itu sudah cukup untuk mengelola Dana Desa (DD) dengan baik tanpa harus menambah masa jabatan yang adanya malah Dana Desa dijadikan ajang Korupsi demi kepentingan pribadi dan kroninya untuk berfoya foya," ujar Aktivis KAKI," Rabu (24/07/2024).
Diketahui salah satu faktor penyebab tingginya potensi korupsi dana desa adalah karena besarnya anggaran sekitar Rp. 1,1 hingga 1,3 miliar per desa, yang belum diimbangi dengan penguatan sistem monitoring dan evaluasi yang memadai. Selain, belum diimbangi peningkatan kapasitas SDM perangkat desa selaku pengelola dana desa.
"Sisi modus korupsi dana desa umumnya sangat sederhana. Para pelaku masih menggunakan cara-cara lama, seperti:
- markup proyek.
- penggelapan.
- kegiatan atau program fiktif
- pemotongan anggaran.
Modus-modus tersebut tidak memerlukan teknik yang canggih.
Sebagai contoh, program pembangunan dan pengadaan barang. Pelaku menyiasati dengan membuat rencana anggaran biaya yang jauh lebih mahal dibandingkan standar teknis pembangunan. Cara lain, mengurangi volume pekerjaan dan membeli barang yang spesifikasinya lebih rendah dibandingkan yang ditetapkan dalam rencana anggaran.
Dalam program-program pemberdayaan, modus yang sering digunakan adalah membuat kegiatan-kegiatan fiktif: ada dalam pertanggungjawaban keuangan, tetapi tidak ada kegiatan atau barangnya. Kalaupun ada kegiatan, jumlah peserta dan durasi waktu riil jauh lebih sedikit dibandingkan dalam laporan pertanggungjawaban. Temuan lain, pemotongan honorarium untuk kader desa atau guru mengaji.
Ada beberapa faktor yang membuat para pelaku bisa begitu mudah menyelewengkan dana desa. Pertama, monopoli anggaran. Dominasi penyelenggara desa dalam penyusunan dan pengelolaan anggaran desa masih sangat besar. Hanya mereka yang mengetahui rincian anggaran dan kegiatan. Akibatnya, walau mereka memanipulasi, markup, mengubah spesifikasi barang, atau menyunat anggaran, tidak akan ada yang tahu dan protes.
Kedua, kemauan dan kemampuan masyarakat berpartisipasi dalam perencanaan dan pengawasan masih lemah. Banyak yang tidak tahu ada dana desa dan tujuan penggunaannya. Ada pula yang menganggap penyusunan dan pengawasan bukan urusan mereka. Kalaupun ada yang memiliki kemauan, hal itu tidak ditunjang oleh kemampuan untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan ataupun pengawasan, seperti cara-cara menyusun anggaran dan mengawasi pelaksaan proyek.
Ketiga, tekanan struktur. Pelaku korupsi dana desa bukan hanya perangkat desa. Dalam beberapa kasus, perangkat kecamatan pun turut terlibat. Mereka biasanya menggunakan kewenangan memverifikasi anggaran, rencana pembangunan jangka menengah desa, dan laporan pertanggungjawaban untuk mendapat setoran atau tanda terima kasih dari penyelenggara desa.
Selain itu, ada pula kasus korupsi dana desa yang terjadi karena faktor teknis. Para penyelenggara desa tidak memiliki rencana melakukan penyelewengan. Mereka terjebak korupsi karena tidak memahami aturan dan prosedur penganggaran ataupun penggunaan anggaran.
Korupsi dana desa menyebabkan hilang atau berkurangnya modal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Program yang semestinya bisa menjawab berbagai masalah klasik di desa, seperti infrastruktur yang buruk dan sulitnya akses masyarakat terhadap modal ekonomi, bisa terancam gagal.
"Tidak hanya itu, korupsi pun menghambat penguatan demokrasi di desa. Proses demokrasi dalam penganggaran tidak berjalan karena penyelenggara desa menutup ruang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dan melakukan pengawasan. Prinsip dasarnya: semakin tertutup, semakin besar ruang bagi mereka untuk melakukan penyimpangan, sekalipun anggaran tidak mencerminkan aspirasi semua pemangku kepentingan desa," pungkas Hosen KAKI.
(Redaksi)
0Comments