HABIB LUTHFI BIN ALI BIN YAHYA GURU BANGSA, PENYAMBUNG NILAI NASIONALISME ; STUDI PEMIKIRAN HABIB MUHAMMAD LUTHFI BIN YAHYA 1960 M - 2024 M
Cirebon, Tribuntujuwali.com
Tulisan ini ditulis bersama - sama R. Hamzaiya S. Hum bersama H. Agus Ma'shum atas kekaguman pemikiran nasionalisme Habib Luthfi Bin Ali Bin Yahya.
H. Agus Ma'sum sendiri merupakan sosok pengusaha asal Cirebon Timur yang merupakan pengikut setia pemikiran Habib Luthfi, sehingga penulis merasa perlu banyak memahami pemikiran nya bersumber sekunder dari beliau.
Habib Muhammad Luthfi bin Yahya merupakan ulama thariqah yang terkenal getol menyuarakan nasionalisme di banyak tempat, baik itu dalam pengajian umum maupun dalam seminar ilmiah. Bahkan, penyebaran gagasan nasionalisme beliau juga melibatkan organisasi yang beliau pimpin, yaitu Jamiyyah Ahlith Thariqah Al Mu‟tabarah An Nahdliyyah (JATMAN/ Organisasi yang mewadahi thariqah-thariqah mu‟tabarah).
Nasionalisme Habib Luthfi –demikian beliau dikenal secara umum- bukan tanpa landasan historis dan tanpa pengalaman pribadi yang beliau alami. Habib Luthfi menyatakan bahwa mayoritas guru beliau mengajarkan untuk mencintai bangsa dan Negara ini. Akan tetapi, lanjut beliau, ada dua orang yang sangat menginspirasi kecintaan beliau terhadap tanah air, yaitu Habib Ali bin Hasyim bin Yahya (Ayah beliau), dan Syaikh Muhammad Abdul Malik (Guru beliau/Purwokerto).
Habib Luthfi bercerita bahwa suatu hari beliau melepas bendera merah putih seusai peringatan hari kemerdekaan. Sebagai anak kecil, Habib Luthfi melepas bendera merah putih dari bambu, dan meletakkannya di tanah. Melihat hal itu, Ayah beliau marah dan memukul Habib Luthfi kecil sambil berkata,”Iki bendero ora mung bendera werno abang putih, tapi ono nyowo, harta sing dikorbanke supoyo bendero iki iso dipasang. Ojo sembarangan. Kudu ngormati pejuang sing wes berkorban” (Bendera ini bukan hanya bendera berwarna merah putih. Tapi ada nyawa, dan harta yang dikorbankan agar bendera ini bias dipasang. Jangan sembarangan. Harus menghormati pejuang yang sudah berkorban untuk tegaknya bendera ini). Sejak kejadian itu, Habib Luthfi berhati hati membawa dan menyimpan bendera merah putih, dan mulai tumbuh kesadaran untuk mencintai tanah air.
Habib Luthfi juga bercerita perihal Mbah Malik (panggilan terhadap Syaikh Muhammad Abdul Malik) dalam mengungkapkan kecintaan terhadap tanah air. Mbah Malik yang pernah ikut berjuang melawan penjajah dan putra dari pejuang, serta keturunan dari Pangeran Diponegoro ini tiap kali tanggal 17 Agustus pada pukul 10.00 selalu diam, mengirim doa dan surat al Fatihah untuk para pejuang dan pahlawan. Nasionalisme Habib Luthfi juga tidak terlepas dari sosok beliau yang cinta sejarah. Habib Luthfi sendiri mulai mempelajari sejarah sejak tahun 1960. Beliau menuturkan,”Sejak tahun 1960, saya mulai jarang tidur malam untuk membaca dan mempelajari buku-buku dan manuskrip-manuskrip sejarah dan mempelajari nisan-nisam makam auliya”. Sehingga beliau paham akan sejarah bangsa Indonesia, mulai zaman kerajaan sampai sejarah Indonesia era modern. Habib Luthfi menjelaskan bahwa tanpa mengetahui sejarah bangsa, maka kita menjadi generasi yang tidak punya jati diri bangsa dan tidak bangga kepada bangsa dan Negara. Kalau sudah tidak bangga pada bangsa dan Negara, maka tidak mungkin muncul rasa cinta terhadap tanah air.
Habib Luthfi menegaskan bahwa sejarah itu harus dipelajari dan dipahami. Dari sejarah kita mengetahui kebesaran kerajaan-kerajaan di Nusantara, kemajuan peradaban di Nusantara, dan begitu berwibawanya kerajaan-kerajaan di bumi Nusantara, sebagai contoh pada masa Dinasti Syailendra dengan borobudurnya, masa Sriwijaya dengan kemajuan perdagangannya, masa Majapahit dengan kekuatan militer yang ditakuti dan disegani. Bahkan ulama-ulama dari Nusantara pun banyak yang terkenal dan menjadi ulama besar di dunia Islam. Itu semua menandakan bahwa bangsa Indonesia bukan bangsa yang bodoh dan terbelakang. Sehingga generasi penerus bangsa harus bangga dan termotivasi untuk kemajuan dan kejayaan bangsa.
Dalam memaknai nasionalisme, Habib Luthfi mengatakan bahwa nasionalisme adalah rasa cinta tanah air yang melahirkan bela Negara dan bangsa. Lebih lanjut, Habib Luthfi menjelaskan bahwa munculnya rasa cinta tanah air dimulai dengan bangga kepada bangsa dan Negara, dan bangga menjadi warga Negara Indonesia. Kemudian kebanggaan itu memunculkan rasa memiliki, menghargai, dan menghormati bangsa dan Negara dengan segala kekurangan dan kelebihannya, termasuk didalamnya adalah menghargai dan menghormati pemerintah, TNI, dan Kepolisian. Habib Luthfi menambahkan, adanya rasa bangga dan rasa memiliki terhadap bangsa ini merupakan awal mula dan bekal utama munculnya rasa cinta terhadap tanah air. Ketika cinta terhadap tanah air sudah tumbuh, dan kuat, maka yang terlihat itu keindahan dan kabaikan. Kalau ada kekurangan, maka orang yang cinta tanah air tidak akan menampakkan kekurangan tanah airnya di hadapan umum, tetapi menganggap bahwa kekurangan itu adalah tugas baginya untuk ikut serta membangun Negara. Sehingga muncul upaya bela Negara. Habib Luthfi mengatakan bahwa bela Negara bukan hanya tugas TNI, dan Kepolisian. Tetapi tugas semua warga Negara. Menurut Habib Luthfi, bela Negara merupakan upaya nyata membangun Negara dan tidak terbatas hanya bidang pertahanan dan keamanan Negara seperti wajib militer. Sehingga dalam praktek sekarang ini bela Negara itu dilakukan di semua bidang, seperti pendidikan, ekonomi, sosial, politik, pertanian, peternakan, dan budaya. Habib Luthfi juga menegaskan bahwa nasionalisme ini bukan perilaku ashabiyyah (fanatisme sempit atau chauvinisme), tetapi sebagai wujud syukur kepada Allah SWT karena telah menjadi bangsa Indonesia.
Laporan informasi dirangkum pada 14 Mei 2024 dan langsung diterbitkan oleh media Tribuntujuwali.com.
0Comments